1. Cinta
Segala
sesuatu harus dimulai dengan cinta, karena cinta akan membawa kepada
keyakinan, pengagungan, perjuangan, pengorbanan, kepatuhan, dan usaha
tanpa pamrih, sehingga segala sesuatu yang besar akan tampak kecil, dan
segala sesuatu yang berat akan terasa ringan.
Misalnya, seorang laki-laki yang sedang dilanda cinta kepada seorang perempuan. Untuk merealisasikan cintanya, tentu apa pun cara akan ditempuhnya, meskipun nyawa menjadi taruhan. Capek, sakit, lapar, dan getir tidak akan dirasakannya lagi, karena dia yakin akan manisnya hasil akhir dari perjuangannya itu. Ketika kita bisa melakukan hal itu untuk seseorang yang kita cintai padahal itu tidak sepenuhnya benar, kenapa kita tidak bisa melakukannya untuk al-Quran, padahal itu cinta hakiki, karena merupakan perwujudan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang merupakan puncak dari segala cinta.
Misalnya, seorang laki-laki yang sedang dilanda cinta kepada seorang perempuan. Untuk merealisasikan cintanya, tentu apa pun cara akan ditempuhnya, meskipun nyawa menjadi taruhan. Capek, sakit, lapar, dan getir tidak akan dirasakannya lagi, karena dia yakin akan manisnya hasil akhir dari perjuangannya itu. Ketika kita bisa melakukan hal itu untuk seseorang yang kita cintai padahal itu tidak sepenuhnya benar, kenapa kita tidak bisa melakukannya untuk al-Quran, padahal itu cinta hakiki, karena merupakan perwujudan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang merupakan puncak dari segala cinta.
Cinta
al-Quran bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Dan untuk memupuk
cinta itu kita harus mengetahui dan mengenal al-Quran lebih dekat, juga
hati kita harus senantiasa yakin bahwa:
a. Al-Quran
adalah kalamullah Yang Maha Agung, Maha Suci, Maha Indah, dan Maha
Besar di atas segalanya, sehingga tidak ada lintasan sedikit pun adanya
sesuatu yang terkesan melebihi al-Quran
b. Al-Quran
dapat memberikan segalanya, mewujudkan aneka macam harapan dan
cita-cita, satu-satunya sumber kesuksesan dan kebahagiaan, dan
memberikan syafaat di akhirat
c. Menghapal al-Quran merupakan tugas suci dan mulia, yang menjadikan penghapalnya disejajarkan dengan malaikat dan dikabulkan doa
d. Al-Quran dimudahkan oleh Allah SWT untuk dihapal, dan Allah SWT akan memberikan kemudahan bagi orang yang serius menghafalkannya. Pengetahuan
tentang al-Quran bisa langsung didapatkan dari membacanya setiap hari,
hadits-hadits Nabi yang menceritakan fadhilah-fadhilahnya, dan informasi
dari ustadz-ustadz, guru-guru, dan lain sebagainya. Upayakan dengan
semaksimal mungkin untuk mendapatkan pengetahuan itu agar cinta ini
semakin betambah dan tidak tergoyahkan. Juga, jangan lupa berdoa
kepada-Nya yang di tangan-Nya tergenggam segala cinta.
2. Cita-Cita
Yang
dimaksud cita-cita disini adalah keinginan yang begitu besar dan kuat
untuk menghapal al-Quran hingga mengalahkan keinginan-keinginan yang
lain. Cita-cita berawal dari cinta dan ketertarikan. Bayangkan, misalnya
suatu ketika kita sangat ingin buah nangka, tapi kita tidak bisa
mendapatkannya karena uangnnya tidak cukup atau barangnya tidak ada.
Tentu buah nangka itu akan terus mengganggu pikiran hingga tidak nyenyak
tidur, lalu semua upaya dan kemampuan pun dikerahkan untuk
mendapatkannya. Biasanya hal ini terjadi pada anak-anak, atau perempuan
yang sedang ngidam. Artinya, keinginan menghapal al-Quran itu
harus sedemikian besar dan kuat seperti anak-anak menginginkan sesuatu
dan perempuan yang sedang ngidam. Atau lebih dari itu, kita
sebisa mungkin harus menganggap membaca al-Quran sebagai kebutuhan
primer, bahkan lebih. Coba lihat orang yang sudah sangat lapar ketika
melihat makanan, atau orang yang sudah tidak kuat hendak buang air
besar, tentu tidak akan bisa ditahan. Ditahan-tahan pun akan keluar
juga. Nah, keinginan menghapal al-Quran harus sampai ketingkat itu,
tidak dapat ditahan lagi.
Cita-cita
yang tinggi dan cinta kepada al-Quran harus ditanamkan kepada anak-anak
sejak dini dengan cara memperkenalkannya, menceritakan
keistimewaan-keistimewaanya, keutamaan-keutamaanya, dan
kelebihan-kelebihannya, baik dalam bentuk pesan-pesan sederhana, maupun
cerita orang-orang shalih terdahulu yang berinteraksi dengan al-Quran,
sehingga anak-anak mempunyai kontak psikilogis yang baik dengan al-Quran
sejak dini.
3. Niat
Niat
artinya kebulatan hati yang tidak dapat diganggu-gugat untuk menghapal
al-Quran bersamaan dengan melakukankannya. Tanda-tanda niat yang kuat
adalah tidak berubah meskipun keadaan serba tidak mendukung. Misalnya
orang tua tidak mendukung, waktu yang sempit karena berbenturan dengan
kegiatan lain yang menumpuk, kekurangan biaya, dihina orang, sering
sakit, dan IQ yang standar.
Niat yang menggebu-gebu tidak sepenuhnya benar apabila tidak disandarkan kepada keikhlasan.
Niat yang benar dalam menghapal al-Quran adalah kebulatan hati untuk
menghapal dengan tujuan mengharap keridhoan Allah SWT, pahala dari-Nya,
dan ampunan-Nya. Karena perjalanan dalam manghapal al-Quran tidak
selamanya mulus, kadang ada kesulitan yang benar-benar sulit dan tidak
dapat dipecahkan dalam waktu yang singkat, biasanya, dalam
menghadapinya, semangat akan berkurang karena mungkin ada rasa kecewa
dalam kondisi fisik yang lemah dan otak yang kelelahan. Tetapi kalau
niatnya lillahi ta’ala, tentu hal semacam itu tidak seharusnya terjadi. Coba renungkan kata-kata al-Ghazaly di bawah ini:
“Aku menuntut ilmu bukan untuk Allah, tetapi ilmu tidak mau kecuali untuk Allah”
4. Tahsinul Qiraat
Salah
satu masalah besar dalam menghapal al-Quran adalah bacaan yang belum
baik. Orang yang membaca al-Qurannya belum baik relative lebih lambat
hapalannya dari pada orang yang sudah baik. Belum baik membaca al-Quran
maksudnya adalah:
1. Belum
bisa membaca al-Quran sama sekali, disebabkan belum belajar membaca
akibat masih anak-anak, tidak ada guru, atau tidak mau belajar
2. Belum lancar membaca al-Quran, disebabkan jarang membacanya, belum terbiasa, atau tidak serius belajarnya
3. Belum benar membaca al-Quran, disebabkan belajar tanpa guru, tidak selesai belajarnya, atau berguru kepada orang yang salah
Oleh
karena itu, sebelum melangsungkan kegiatan menghapal berusahalah
semaksimal mungkin untuk memperbaiki bacaan dengan cara belajar yang
benar kepada guru yang benar sampai selesai, dan memperbanyak membacanya
pagi dan petang. Mungkin ini akan berlangsung lama sesuai basic yang pernah dimiliki.
Untuk
anak-anak, seiring dengan belajar tahsin, proses menghapal, khususnya
surat-surat pendek, sangat baik dimulai sejak dini meskipun belum bisa
membaca al-Quran. Kegiatan ini bisa dilakukan langsung oleh orang
tuanya, atau orang yang diserahi amanah untuk mendidiknya, juga dapat
dibantu dengan pemutaran kaset murattal secara rutin dan teratur. Tanamkan kepada anak-anak kecintaan kepada al-Quran sedini dan sebisa mungkin agar tumbuh dengan qalbu qurani.
5. Menentukan Mushaf
Di Indonesia, bahkan di dunia, pada umumnya menghapal al-Quran dilakukan dengan menggunakan mushaf.
Kecuali di sebagian negeri-negeri kaum Muslimin di Afrika seperti
Maroko dan Libya, di sana mereka menghapal al-Quran dengan menggunakan
sebuah papan. Ayat yang hendak dihapal, mereka tulis di papan tersebut,
dan tidak dihapus kecuali telah benar-benar
hapal. Di bagian bumi lain, ada yang menggunakan kaset, isyarat gerak,
dan computer. Namun apa pun bentuknya, mushaf mutlak diperlukan.
Menghapal al-Quran dengan menggunakan mushaf dipandang efektik, karena biasanya menghapal itu lebih mudah dilakukan dengan cara melihat, karena mushaf dapat
menampilkan gambar yang asli, mudah ditandai dalam setiap lembarnya,
dan mudah dirujuk kembali ketika, misalnya, ada yang lupa. Hal ini
menuntut agar proses menghapal dilakukan dengan menggunakan satu jenis mushaf.
Tidak boleh berganti-ganti. Karena akan menimbulkan kekeliruan, dan
kekacauan gambar yang telah terekam di otak akibat letak dan posisi ayat
yang tidak sama.
Dalam memilih dan menentukan mushaf, sebaiknya perpegang kepada mushaf yang setiap sudut dari setiap lembarnya merupakan penutup ayat, atau dinamakan mushaf sudut. Mushaf sudut ini ada yang satu juz-nya sepuluh lembar, dan ada yang delapan lembar. Dan biasanya, yang umum digunakan adalah mushaf yang satu juz-nya sepuluh lembar. Kemudian pilihlah mushaf sudut yang ditulis dengan Rasm Utsmani, seperti mushaf yang diterbitkan oleh Kerajaan Arab Saudi. Dengan itu, diharapakan lebih banyak berkah dan nilainnya di sisi Allah SWT.
6. Waktu
Kapan menghapal al-Quran? Kalau pertanyaan ini diartikan harus sejak kapan mulai menghapal al-Quran? Maka jawabannya, sedini mungkin. Dan manfaatkan masa muda, jangan menunda-nunda. Sampai kapan?.
Ya, sampai hapal semuanya. Tidak ada kata terlambat untuk menghapal
al-Quran. Seandainya ada orang yang mau menghapal al-Quran, tapi umurnya
hanya tersisi satu menit lagi, maka mulailah menghapal. Tentu, di sisi
Allah, yang satu menit ini lebih baik dari pada seluruh umurnya.
Namun,
yang dimaksud waktu di sini ini bukan itu, tetapi saat-saat yang baik
digunakan untuk menghapal. Secara umum waktu terdiri dari siang dan
malam. Dan kita, Umat Muslim, telah mengetahui waktu-waktu tertentu
untuk mendirikan shalat yaitu shubuh, zhuhur, ashar, maghrib, dan isya.
Sebenarnya, setiap bagian dari siang dan malam,
sepenuhnya mendukung terselenggaranya proses menghapal dengan baik, tapi
kadang kondisi kita sendiri yang kurang mendukungnya di waktu-waktu
tertentu. Jadi yang ditekankan di sisni adalah harus ada pengaturan
waktu sesuai dengan kesibukan yang ada. Kemudian membuat target sesuai
kemampuan yang dimiliki, mau berapa lama sampai khatamnya. Setelah itu
bisa diperkirakan seharinya harus dapat berapa lembar agar khatam sesuai
target.
Pada
dasarnya waktu menghapal itu kapan saja, mungkin masing-masing orang
akan berbeda. Tapi yang harus ditekankan, waktu menghapal harus lebih
banyak dari waktu tidur.
Misalnya, rata-rata maksimal tidur setiap orang adalah 8 jam, maka
waktu menghapal pun jangan kurang dari 8 jam, bahkan harus lebih. Sebisa
mungkin pergunakanlah waktu panjang, yaitu waktu antara shubuh dan zhuhur, dan waktu antara isya dan shubuh. Menghapal jangan menunggu mmud, karena mmud itu tidak selamanya ada. Bisa jadi seharian mmud itu
tidak datang-datang, sedangkan waktu terus berjalan. Usahakan bangun
malam secara rutin tiap hari, dan manfaatkan waktu sebelum dan sesudah
shalat fardhu.
7. Tempat
Selain waktu, tempat juga sangat mempengaruhi baik dan buruk terselenggaranya kegiatan menghapal.
Tempat dapat berarti rumah, masjid, dan sebuah lembaga pendidikan
semacam pesantren. Atau lebih khusus lagi, tempat dapat diartikan lokasi
tertentu tempat melangsungkan kegiatan menghapal. Bisa jadi, bagi
sebagian orang, suatu lokasi terasa enak dijadikan tempat melangsungkan
kegiatan menghapal, dan bagi yang lain, tidak. Dan bisa jadi
berpindah-pindah setiap saat. Misalnya, di pesantern, biasanya santri
menghapal di dalam masjid, tapi kadang ia lebih enak menghapal di
asrama, aula, majlis, halaman pesantren, lokasi tertentu di sekitar pondok, atau sambil berjalan.
Dari
tempat-tempat yang telah disebutkan di atas, tempat dalam pengertian
pesantren atau lembaga khusus tahfizh al-Quran adalah yang paling
penting diperhatikan. Dalam menghapal al-Quran kadang harus ada hijrah
atau belajar keluar. Kalau lingkungan rumah kondusif, mungkin kegiatan
menghapal dilakukan cukup di rumah, tidak harus mesantren keluar. Tapi
kalau tidak kondusif, biasanya kegiatan menghapal akan sulit dilakukan,
kecuali harus keluar. Meskipun sebetulnya, kondusif dan tidaknya suatu
tempat untuk melangsungkan kegiatan menghapal ditentukan oleh diri
sendiri. Oleh karenanya, setelah niat menghapal begitu kuat, tentukan
pasantren atau lembaga tahfizh mana yang akan dipilih. Tetapi harus
konsisten, ketika telah memilih sebuah pesantren, jangan karena alasan
tidak betah dan ini, itu, lantas keluar lagi sebelum target
tercapai. Karena kalau memandang kehidupan pesantren dengan keinginan
hati, maka akan banyak sekali ketidakcocokan di pesantren mana pun.
Pesantren
memang perlu, tapi hal ini jangan dijadikan alasan untuk tidak
menghapal manakala pesantren yang dihendaki sulit didapatkan. Misalnya,
tidak ada biaya, orang tua tidak mengizinkan, atau memang tidak ada yang
cocok. Menghapal harus tetap berjalan ketika niat telah bulat, jangan
menunggu masuk pesantren yang belum diketahui kapan. Kalau telah mulai
mengahapal, kemudian misalnya, kesempatan masuk pesantren yang
dikehendaki itu ada, maka tinggal melanjutkan saja. Dan seandainya
kesempatan itu tidak ada juga sampai kegiatan menghapal selesai, maka
buat apa masuk pesantren, khan al-Quran-nya juga sudah hapal,
bukannya masuk pesantren itu buat menghapal?.. Tapi kalau ada
kesempatan, meskipun sudah hapal juga, masuk pesantren tetap perlu,
karena kalau menghapal tanpa guru, biasanya ada saja yang salah.